6/22/05

'Sesama pejuang, napa bilang 'ada yg lebih hebat'?'





Setiap jaman, dan tiap keadaan, punya pahlawannya sendiri. Ada yang memilih jadi pahlawan ditengah keramaian, tentu dengan beragam resiko yang kudu ditanggung. Ada juga yang memilih jadi pahlawan di jalan sunyi, seolah mengikuti nasihat lawas: apa yang kau beri dengan tangan kanan, tak perlu diketahui oleh tangan kiri.

Di dekade 80-an itu, ada dua buku harian yang diterbitkan dan banyak dibaca mereka yang ingin tahu tentang pergerakan kaum muda post-65. "Karya" SHG memang lebih menggairahkan untuk dibaca. Bertaburan dengan gosip politik (nasional, UI) plus "buku, pesta dan cinta". Tak erlalu mengherankan jika sekarang buku ini dilayar-lebarkan, karena selain isinya yang bernas, alur ceritanya pun layak jual (lepas dari keputusan untuk mematutkan seorang Nicholas Saputra sebagai SHG).
Buku harian lain yang akhirnya juga jadi legenda adalah "Catatan Harian Ahmad Wahib".

Jika SHG adalah anak zaman yang hiruk dengan gejolak pergerakan mahasiswa, Wahib adalah telaga kontemplasi yang hening. Sepertinya tak ada entry dalam buku harian ini yang memuat intrik politik (nasional, lokal/senat). Tapi letupan-letupan pemikirannya sungguh luar-biasa: pencarian jati diri seorang anak muda dalam konteks keislaman dan keindonesiaan: bagaimana menjadi muslim yang kaffah (seutuhnya) dan menjadi WNI sejati di zaman modern tanpa harus berujung pada kepribadian yang terbelah.

Wahib adalah mata rantai yang sering dilupakan ketika orang bicara tentang pergerakan muslim progresif Indonesia. Kita lebih mengenal Cak Nun, yang didaulat sebagai lokomotif pemikiran muslim Indonesia sejak awal 70-an. Dan kemudian kita meloncat ke Gus Dur, sampai seterusnya ke Ulil dan JIL-nya yang kontroversial pada beberapa tahun terakhir. Wahib menjadi terlupakan karena walaupun dia ada ditengah pusaran pergolakan Islam Indonesia, dia bukan figur yang ada di tengah panggung. Meminjam istilah film, dia bukan aktor atau sutradara, melainkan tim kreatif yang ide-idenya memicu para penulis naskah, pengatur lakon dan para bintang panggung meraih puncak prestasi masing-masing. Tapi seperti laiknya para pahlawan dijalan sunyi, jalan kehidupan Wahib bukan sesuatu yang menarik untuk dijual. Dia tidak pergi ke langit ditengah dentuman senapan seperti Arief Rahman Hakim. Tidak juga setelah mendaki puncak tertinggi seperti SHG. Dia mati dijalan, terhantam sepeda motor ditengah malam, sebelum digotong para gelandangan ke rumah sakit.

SHG dan Wahib, keduanya memilih jalan kepahlawanan masing-masing. Keduanya sama mengajarkan bahwa hidup yang singkat bisa dibikin punya makna. Dan seperti juga pada para pahlawan lain, membandingkan "mana yang lebih hebat ?" adalah pertanyaan yang muskil dijawab. Mungkin lebih mudah untuk mencari jawab: "dibandingkan dengan mereka, kita tergolong apa ?"


ps:
Ketika tergoda oleh buku harian SHG dan Wahib sekian tahun lewat, satu hal yang paling berbekas adalah keyakinan SHG bahwa mereka yang mati muda lebih berbahagia karena bisa meninggalkan jejak yang relatif bersih. "Dont trust anyone over forty" (or thirty ?) kutipnya. Menarik untuk berspekulasi bagaimana jalan yang dia tempuh jika dia terus hidup sampai masa2 kooptasi Orba yang begitu masif. Akankah dia memilih jalan Tides ? Arief ? Cosmas ? Akbar ? Mar'ie ?



--- In radioliner@yahoogroups.com, "aune_waindth" wrote:

>
> sesama pejuang, napa bilang 'ada yg lebih hebat'?
>
>
> klo kita idup d jaman 66, blom tentu brani prt gie.
>
>
> skrng? berani ngapaiiiinn??????
>
> -ican-

No comments:

Post a Comment

Followers