3/13/06

Bila Kau Benar-Benar Sayang

Belum genap lima menit menyaksikan klinik gitarnya Balawan di hari pertama Java Jazz 2006, seorang teman langsung berkomentar: “Nggak salah rupanya kita milih profesi. Bayangin kalo dulu keukeuh pengen jadi gitaris, ternyata setelah belasan tahun pegang gitar tau-tau ngeliat permainan secanggih ini. Bisa nangis darah saking keselnya”.

Klinik gitar yang diadakan 3 Maret sore ini memang salah-satu daya tarik utama Java Jazz hari pertama. Ruang Nuri di lantai dasar JHCC yang kapasitasnya tidak terlalu besar itupun penuh sesak oleh para penikmat gitar. Lazimnya acara serupa, klinik gitar kali ini memang ditujukan untuk memberi kesempatan pada Balawan buat berbagi ilmu dan meladeni pertanyaan-pertanyaan dari audiens, mulai dari yang serius tanya tentang jenis humbucker (pickup) yang dipakai, gitaris yang dianggap mempengaruhi (bukan Stanley Jordan ternyata), bahkan sampai cara terbaik untuk belajar teknik tapping dua tangan yang kerap dipamerkan Balawan.

Untuk teknik tapping ini, saking kagumnya sang penanya sampai-sampai teknik ini disebutnya sebagai teknik ”typing”. Hwarakadah... Gak kebayang kan main gitar dengan gaya ”ngetik”. Dan, saudara, ternyata tidak mudah usaha yang mesti dilakukan untuk menguasai jurus two hand tapping a la Balawan. Dengan logat Balinya yang medok, Balawan bercerita bahwa kata kunciny adalah ”independensi antara tangan kiri dan tangan kanan” sehingga kedua tangan bisa sama-sama memainkan melodi pada saat berbarengan. Hmmm.., jadi inget jurus ”Memecah Pikiran”-nya si Chiu Pek Tong di cerita silat Pendekar Rajawali Sakti dong.

Yang menarik adalah pengakuan Balawan bahwa penggarapan album solo keduanya, Magic Fingers, sedikit banyak dipengaruhi oleh seretnya penjualan debut albumnya bersama Batuan Ethnic Fusion, Globalism, yang sarat warna jazz etnik (or Balinese music played by jazz guitarist, or whatever he called it). Jika ditilik lebih jauh, album Magic Fingers dengan 3 cover version pop hits Indonesia ini memang relatif lebih bersahabat dengan pasar dibanding 12 lagu di album pertama yang merupakan karya orisinal atau interpretasi lagu tradisional Bali. Semua Bisa Bilang, Arti Kehidupan dan Sesaat Kau Hadir, ketiganya pernah menjadi hits di era 70-80an dan di album Magic Fingers ini diaransemen ulang dengan warna baru yang lebih menarik. Jika nomor Semua Bisa Bilang versi tante Margie Siegers tahun 70-an itu dibawakan dengan enteng menggoda, versi Balawan di album ini sepertinya dia olah dengan gaya "crunchy, corny dan ringan mengejek", seolah ingin mengingatkan para pendengarnya bahwa tidak mudah menjual musik serius di pasar Indonesia.

Tapi taktik mengakali permintaan pasar ini –dengan menyertakan beberapa nomor easy listening yang gampang diterima- adalah satu keputusan yang wajar. Pilihan yang sama juga diambil oleh Discus, misalnya. Jujur saja, tanpa mengurangi apresiasi terhadap kualitas vokal Andien, salah-satu pertimbangan mengapa Andien yang dipilih sebagai vokalis tamu tentu karena dia sudah punya fan base yang mapan. Atau pilihan Tohpati terhadap Shakila saat dia menggarap debut albumnya beberapa tahun lalu. Atau lebih jauh lagi, pilihan Peter Gontha untuk menampilkan grup-grup yang “agak jauh” dari jazz di pentas JJF 2006 seperti Seriues atau Kahitna (oops, sorry Kahitna’s fans). Tentu saja tidak masuk hitungan dalam hal ini adalah langkah mbak Rien Djamain atau Syahrani yang mau-maunya ikut tampil di album solo (dan moga-moga the only one) si Bapak yang bertajuk Kolaborasi PFG itu. Kalau ini sih bukan kompromi lagi namanya, tapi ya sudahlah….

Penampilan ke-2 Balawan di JJF 06 adalah pada hari kedua festival, saat dia tampil bersama grupnya Batuan Ethnic Fusion. Membawakan lagu-lagu dari album Magic Fingers, Balawan tetap mendapat sambutan yang meriah. Kalau diingat bahwa pada saat yang berbarengan Lee Ritenour juga tampil di panggung utama JJF, ramainya penikmat gitar yang memilih menyaksikan Balawan dibanding mister Ritenour tentunya merupakan satu prestasi tersendiri. Belum lagi mengingat pada malam yang sama tampil juga para jawara pribumi seperti Dwiki, Aksan, Bintang, Ireng Maulana, dan lainnya.

Tidak berlebihan kiranya jika Balawan dianggap sebagai salah-satu bintang di Java Jazz 2006. Sophisticated technique, a friendly attitude with audiences. Pintar membaca pasar – sedikit kompromi tak jadi soal. Dan jika langkah komprominya Balawan memicu selentingan pedas, mungkin syair berikut ini bisa lamat-lamat disenandungkan para penggemar jazz Indonesia:

Bila kau benar-benar sayang
Bila kau benar-benar cinta
Tak perlu kau dengarkan kritikan itu
Cukup mainkan gitarmu...

3/9/06

Tertipu Andien bersama Discus

Hari ke-2 Java Jazz 2006 gw mulai dengan terbirit-birit mengejar jadwal tampil grup rock progesif Indonesia yang saat ini lagi kesohor, Discus. Tentunya kalau ngomong soal ketenaran, grup2 dari aliran aneh bin ajaib model prog rock begini tak bisa dibanding dengan para koleganya dari aliran rock sopan model Dewa atau Padi. Jika larisnya album-album Dewa diukur dalam bilangan ratusan ribu kopi dengan jutaan penggemar, grup seperti Discus mungkin bakal cukup bahagia jika hasil penjualan album mereka bisa menutup ongkos rekaman dan modal edar produsernya.



Itu sebabnya gw rada takjub waktu antrian nonton Discus di Assembly Hall 3 JHCC ternyata juga dipadati oleh wajah2 imut para ABG yang didampingi oleh bapak/ibu/kakak/tante dan tetangga. Jika mereka antri untuk Glen Fredly/Rika Roeslan (hari ke-2) atau Daniel Sahuleka/grup Seriues (hari ke-3), mungkin masih lebih masuk akal. Tapi ini Discus. Yang musiknya lebih cocok dikategorikan sebagai musik pengejar warisan (gak percaya ? coba aja setel lagu2 mereka pas mertua sedang asyik2-nya menikmati sore. pasti langsung masuk rumah sakit karena stroke). Baru setelah dikasih tahu bahwa Discus akan menampilkan Andien dan Fadly Padi sebagai guest star, kebingungan gw sedikit terjawab. Pantas aja yang antri campuran antara ABG kinyis-kinyis dan tampang2 garang standar fans-nya prog-rock.

Dan benar aja. Tak lama setelah kulonuwun, grup yang dikomandani Iwan Hasan ini langsung menggebrak dengan satu lagu yang dipetik -kalo gak salah- dari album pertama mereka. Kayaknya sih lagu "Phantasmorgia" (? or something like that), yang mestinya pertama didenger beberapa tahun lalu tapi tidak terdaftar di memori karena memang lagu ini -maaf- tidak cukup "memorable".

Setelah beberapa lagu, dan mungkin karena melihat gelagat penonton mulai gelisah, Iwan mengajak Andien untuk tampil ke panggung. Bawain dua lagu (satu dari albumnya Discus, satu dari solo albumnya Andien). "Biar adil...", begitu alasannya. Gak banyak yang bisa dikomentari dari penampilan mereka, karena memang jujur saja gw gak bisa menikmati. Setelah Andien, giliran Fadly Padi yang muncul. Membawakan beberapa lagunya Discus, warna vokal Fadly yang khas memberi sentuhan menarik pada komposisi2 Discus yang mereka mainkan. Yang jelas, lagu bertajuk "Nangro" (?) yang dibawakan diakhir pertunjukan cukup menjadi bahan pertimbangan buat kembali memburu album baru Discus yang konon akan dirilis beberapa bulan lagi.


Is beauty really skin deep ?


"Beauty is skin deep", itu kata pepatah jaman baheula. Tapi setelah nonton Discus, gw jadi lebih yakin dengan versi kontemporer dari pepatah ini: "Beauty is actually skin tight". Mirip Inul atau Dewi Persik -tapi tentunya lebih tasteful- adalah penampilan vokalis cewek grup Discus ini, mbak Yuyun. Suara keren abis, kostum ketat plus sayap model burung merak, goyang a la balet minimalis tapi lirikan maksimal menggoda. Ehmm..... terobatilah sedikit juteknya hati setelah digempur komposisi2-nya Discus selama sekitar 70 menitan.


To be continued.........

Followers