6/30/05

Sleevenotes for "OST A Day in A Life"


http://rahmad.multiply.com/music/item/1?last_read=1120135375&mark_read=rahmad:music:1


Stainbul Naturil - Usman Achmad
Al Ittirof - Haddad & Sulis
The Meeting - ABWH
In My Dreams - Reo Speedwagon
Do You Know Where You're Going - Diana Ross
Adhan and Allah-O-Akbar - Dollar Brand Duo
Van Morrison - Stranded
Man Against The World - Survivor
Lonely wind - Kansas
Footprints - Barenaked Ladies

'Stainbul Naturil' is taken from the Smithsonian Archive "Guitar Music of Indonesia". A traditional guitar-based Lampung song, it is a ballad by the inimitable Usman Achmad. I remember those late nights when my uncles played this kind of song during the harvest seasons. The smells of corn-leaves-and-tobacco cigarette, the unmistakable aroma of Lampung coffee with Aren brown sugar. The past. My past, that taught me these words: "dang jalow basah mak ngisei, keranjang mulang bakkang".

The tune 'Al-Ittirof' by Haddad Alwi is also known as "Tombo Ati" by Cak Nun. However, the lyric are different: "Al-Ittiroff" is based on the so-called "Abu Nawas's prayer" from the classic Abbasid dynasty a thousand years ago. The words are vintage Abu Nawas: "dear God, my sins are as uncountable as the dust. Truly I don't deserve to be in heaven. But I'am also too weak to be in hell, either. So help me, Lord. Bless me with your forgiveness". The next song, 'The Meeting', is about our longing to meet the Creator, although obviously it can also be one of the best love song of all time. With the voice of an angel, Jon Anderson has the uniquely ethereal voice that fits with this song. Wakeman, Brufford & Howe round-up the music arrangement. Dollar Brand (aka Abdullah Ibrahim) contribute 'Adhan and Allah-o-Akbar' to this compilation. Taken from his 1974 album "Good News from Africa", this is actually the lyric of adzan sung in a Swahili-style over a sparse arrangement of piano and upright bass (cello ?). Abdullah is a renown jazz pianist from South Africa, and I'm glad I had a chance to go to his performance few months ago in London.

Reo Speedwagon plays 'In my dreams'. I first heard this song in mid-80s (boy, that was waaay...back then). I have forgot the lyrics, but I will always remember the unmistakable riffs in the intro, as well as the reason why I heard this song in the first place. 'Man against the world' by Survivor is also a track from that days-of-innocence era. While the song is actually about a boxer down in his luck (was it OST for Rocky III?), what I remember from this song is the days when all the teachers in our Junior High seems to hold a special contempt for me and my friends :). The last song from that formative years in this compilation is 'Lonely Wind' by Kansas. The very beautiful piano-solo intro never fails to remind me of those paper birds that I made flew from our class in the 2nd floor. Ah... the best days in my life.

'Do You Know Where You Going' by Diana Ross is the theme song from 1975 film, "Mahogany". My favourite version is actually the one by Rien Djamain, which she sung with Jack Lesmana combo in the "Jazz Masa Kini" concert album, but since I left the record in Indonesia, I have to include the original version instead. Listening to her singing "Do you know where you going to, do you like the things that life has showing you", I feel very odd that some twenty-years later I found Van Morrison's (2005) song "Stranded" seems to give a perfect answer to the question. "It's leaving me stranded, in my own little island. With my eyes open wide, But I'm feeling stranded".

And finally, 'Footprints' by Barenaked Ladies. Taken from their latest album "Holidays", fittingly I first heard this song a few months ago during my first winter in London. "I've followed footprints in the snow, never knowing if I was right behind you". Now the snow have long gone. But the question remain unanswered : Have I leave my footprints in the snow ?

6/22/05

27 Juni 1995


(Seorang sahabat pergi ke langit, sepuluh tahun lalu)

kabar itu
datang ketika mentari belum lagi pulih
dari kantuknya.

satu lagi buku kehidupan telah selesai
tintanya yang akhir belum lagi kering,
dan kita boleh kecewa karena ceritera itu
mesti terputus tiba-tiba :

ada bunga yang mesti patah
sebelum benar-benar kembang tebarkan harumnya.

(ya, kamu pergi tanpa iringan
salvo senapan atau bendera duka.
mungkin juga tidakkan jadi catatan kaki dalam sejarah
kecuali hanya sejumput kenangan yang sesekali mencuat
ingatkan kami tentang yang fana.
atau tentang waktu :
siapa kuasa menahan senja taburkan remangnya ?)

tapi kita percaya tak ada ciptaanNya yang sia-sia
kerikil terserakpun jadi bagian
memperindah lanskap di taman.

dan bunga yang patah itu kini satu
dalam untaian bunga lainnya
jadi hiasan di sudut beranda rumahNya.

'Sesama pejuang, napa bilang 'ada yg lebih hebat'?'





Setiap jaman, dan tiap keadaan, punya pahlawannya sendiri. Ada yang memilih jadi pahlawan ditengah keramaian, tentu dengan beragam resiko yang kudu ditanggung. Ada juga yang memilih jadi pahlawan di jalan sunyi, seolah mengikuti nasihat lawas: apa yang kau beri dengan tangan kanan, tak perlu diketahui oleh tangan kiri.

Di dekade 80-an itu, ada dua buku harian yang diterbitkan dan banyak dibaca mereka yang ingin tahu tentang pergerakan kaum muda post-65. "Karya" SHG memang lebih menggairahkan untuk dibaca. Bertaburan dengan gosip politik (nasional, UI) plus "buku, pesta dan cinta". Tak erlalu mengherankan jika sekarang buku ini dilayar-lebarkan, karena selain isinya yang bernas, alur ceritanya pun layak jual (lepas dari keputusan untuk mematutkan seorang Nicholas Saputra sebagai SHG).
Buku harian lain yang akhirnya juga jadi legenda adalah "Catatan Harian Ahmad Wahib".

Jika SHG adalah anak zaman yang hiruk dengan gejolak pergerakan mahasiswa, Wahib adalah telaga kontemplasi yang hening. Sepertinya tak ada entry dalam buku harian ini yang memuat intrik politik (nasional, lokal/senat). Tapi letupan-letupan pemikirannya sungguh luar-biasa: pencarian jati diri seorang anak muda dalam konteks keislaman dan keindonesiaan: bagaimana menjadi muslim yang kaffah (seutuhnya) dan menjadi WNI sejati di zaman modern tanpa harus berujung pada kepribadian yang terbelah.

Wahib adalah mata rantai yang sering dilupakan ketika orang bicara tentang pergerakan muslim progresif Indonesia. Kita lebih mengenal Cak Nun, yang didaulat sebagai lokomotif pemikiran muslim Indonesia sejak awal 70-an. Dan kemudian kita meloncat ke Gus Dur, sampai seterusnya ke Ulil dan JIL-nya yang kontroversial pada beberapa tahun terakhir. Wahib menjadi terlupakan karena walaupun dia ada ditengah pusaran pergolakan Islam Indonesia, dia bukan figur yang ada di tengah panggung. Meminjam istilah film, dia bukan aktor atau sutradara, melainkan tim kreatif yang ide-idenya memicu para penulis naskah, pengatur lakon dan para bintang panggung meraih puncak prestasi masing-masing. Tapi seperti laiknya para pahlawan dijalan sunyi, jalan kehidupan Wahib bukan sesuatu yang menarik untuk dijual. Dia tidak pergi ke langit ditengah dentuman senapan seperti Arief Rahman Hakim. Tidak juga setelah mendaki puncak tertinggi seperti SHG. Dia mati dijalan, terhantam sepeda motor ditengah malam, sebelum digotong para gelandangan ke rumah sakit.

SHG dan Wahib, keduanya memilih jalan kepahlawanan masing-masing. Keduanya sama mengajarkan bahwa hidup yang singkat bisa dibikin punya makna. Dan seperti juga pada para pahlawan lain, membandingkan "mana yang lebih hebat ?" adalah pertanyaan yang muskil dijawab. Mungkin lebih mudah untuk mencari jawab: "dibandingkan dengan mereka, kita tergolong apa ?"


ps:
Ketika tergoda oleh buku harian SHG dan Wahib sekian tahun lewat, satu hal yang paling berbekas adalah keyakinan SHG bahwa mereka yang mati muda lebih berbahagia karena bisa meninggalkan jejak yang relatif bersih. "Dont trust anyone over forty" (or thirty ?) kutipnya. Menarik untuk berspekulasi bagaimana jalan yang dia tempuh jika dia terus hidup sampai masa2 kooptasi Orba yang begitu masif. Akankah dia memilih jalan Tides ? Arief ? Cosmas ? Akbar ? Mar'ie ?



--- In radioliner@yahoogroups.com, "aune_waindth" wrote:

>
> sesama pejuang, napa bilang 'ada yg lebih hebat'?
>
>
> klo kita idup d jaman 66, blom tentu brani prt gie.
>
>
> skrng? berani ngapaiiiinn??????
>
> -ican-

Followers