5/22/06

Leo di Sangatta, 20 Mei 2006




.....Engkau membaca ayat ayat suci
Dan menghitung setiap dencing pundi-pundi
Aku teringat akan ibu di sana
Yang tak pernah dapat membaca apa-apa
Hanya menghitung setiap hati manusia
Hanya menghitung setiap tangis manusia
Hanya menghitung setiap jerit manusia.....


Terkadang ada impian yang memang tidak berani kita bayangkan dapat terwujud jadi kenyataan. Perasaan seperti ini yang muncul di benak para penikmat musik Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK) di Sangatta saat terbetik kabar bahwa Leo dan Konser Rakyatnya "ada kemungkinan" punya waktu untuk merayakan Hari Kebangkitan Nasional di kota kecil di ujung timur Kalimantan ini. Bahkan ketika sudah ada konfirmasi kepastian Firda (manajernya KRLK), para LKers di Sangatta masih tetap waswas mengingat reputasi om Leo yang impulsif: pergi dan datang semau hati. Bagaimana jika ia tiba-tiba membatalkan keberangkatan ? Atau memutuskan untuk "jalan-jalan" dulu di Balikpapan saat transit di Bandara Sepinggan ? Atau menghilang tiba-tiba dari penginapan beberapa jam sebelum pertunjukan dimulai ?

....Cinta
gelombang kasih nan tulus
hingga usia tengah abad
selebihnya hanya kau yang tahu....


Rasa harap-harap cemas itu seketika hanyut ketika om Leo dan Cecilia memulai tampilan mereka dengan menyenandungkan bait "Tembang Lestari" diatas. Seperti juga banyak penikmat KRLK lain, telinga gw agak asing dengan nomor yang satu ini. Konon lagu ini sudah pernah dirilis dalam edisi terbatas di pertengahan 90an, juga sering dibawakan di konser-konser Leo. Lazimnya karya2 KRLK, lirik lagunya bisa dimaknai ganda: syair gombal seorang pria paruh baya yang hanyut dibuai cinta, atau tuangan perasaan seorang anak negri untuk Ibu Pertiwi yang telah berusia setengah abad.

......Pagi itu di kaki lima
kami semua menyanyikan lagu bersatu negeri
Di tanah merdeka ini putih tetap putih
Di tanah merdeka ini hitam tetap hitam
Janganlah kau cemas, mari menyanyi
Mmm ah ooah ooah…



Dan "cinta pada pendengaran pertama" bisa jadi adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan sebagian penonton yang hadir malam itu. "Lagu-lagunya sulit dicerna. Gak ngeh aku", komentar beberapa teman. Om Leo memang bukan artis pop permen yang lagunya laris manis di pasar industri musik. Tiga dekade karirnya bersama Konser Rakyat baru terdokumentasikan dalam sekitar 10 album. Konser-konser yang diadakannya tidak pernah jelas terjadwal, bahkan kadang gagal di saat-saat terakhir karena alasan sederhana: si Om sedang "hilang mood". Tapi malam itu, om Leo akhirnya tampil bersama Cecilia/Otte/Lilik di atas setting panggung yang sederhana, lengkap dengan stage property yang menjadi ciri khasnya: sepotong drum minyak tanah sebagai tumpuan kaki. Pentas ini harus berakhir sekitar 10.30 malam, setelah 4 kali KRLK gagal turun panggung karena "dipaksa" para LKers untuk terus bernyanyi.

....Angin malam yang berbisik padaku
Mengapa bersedih
Pilar-pilar tegar gema memanjang
Abadi cintaku
Burung malam kini terbang
melintasi langit terang
Memekikkan kesunyian hati......


Om Leo tak ubahnya Zatoichi dengan pengembaraan yang tak kenal lelah. Seorang troubadour sejati yang lekat dengan kehidupan jalanan, akrab dengan warna kesenian lokal dan menjadi satu tonggak penting dalam khasanah musik rakyat (folk song) di Indonesia. Dia memang bukan Franky & Jane yang manis, Ully Sigar yang kenes, atau Harry Roesli yang bandel. Leo Kristi adalah sebuah ikon musik Indonesia yang unik. Dan kita bersyukur bahwa sampai hari ini dia tetap setia dengan jalan seni yang telah setia digauli selama ini.

.....Kalau ke kota esok pagi
sampaikan salam rinduku
Katakan padanya
Padi-padi telah kembang

Ani-ani seluas padang
Roda giling berputar-putar
Siang malam
Tapi bukan kami punya......


5/21/06

Looking for Eve on the Jabal Rahmah



Tradition says that Adam and Eve were separated from each other when they were declared as persona non gratta in Heaven after tasting the Forbidden Fruit. They were separated for 50 years (or 60 years/40 years, though I don't think anyone have invented the calendar system at that time). Adam looked for Eve everywhere and finally was reunited with his loved one in the small hill called Jabal Rahmah (Mount of Mercy), near the Arafah Plains.

Thousands of years later, the commemoration of this reunion is one of the mainstays of any pilgrimage program to Mecca. And since the search for soul-mate is as old as the history of mankind, modern day Adam and Eve flocks to this place to offer prayers so they too can meet or make the right choice of their significant other. Or as a friend told me, "What we need is to end the story with the correct phrase "...they live happily ever after". Not to be cursed to go back to page one with "...once upon a time there's...”.


When there is Eve, there is the market ?

When you arrived at the hill, you will be swarmed by camel owners who offers their service to take you to the top by riding the camel (20 rial ). You can also ask for a photograph session with the camel for 5 rial. Along the path to the top you will also find street hawkers offering various accessories, candies and drinks (except during Ramadhan for the latter). And this is the main reason why the top of the hill is very crowded, just like Pasar Tenabang during 1980s.

The thing that saddened me the most when I visited the place was that it was quite a filthy place, with thrash and camel dung everywhere, even at the top of the hill where the stone monument stood tall. For a country with billion of dollars income from Hajj' and Umra' (not to mention their filthy petrodollars), it is such a shame the Saudi can not ensure a decent maintenance and cleaning works for the area. Probably if Adam was still searching for Eve today, he would rather not climb the hill to meet his long-lost significant other than having the risk of stepping into heaps of camel dung in that place..

Followers